Senin, 18 Mei 2009

F I L M pakai H E L M

MERAMU FILM SEBAGAI HELM
oleh: Alfithrah Arufa
Perkembangan dunia kini semakin tampak jelas terus menghipnotis setiap penghuni dunia agar selalu menikmati buah dari modernisasi hasil karya dan karsa manusia, sebuah nilai esensi yang cukup menjadi sahabat karib manusia abad 21. Betapa besarnya nilai manfaat yang dikandung oleh teknologi modern, jika dimanfaatkan dengan baik, tentunya.
Perkembangan teknologi telah melahirkan benih-benih informasi yang sangat akurat, dan actual, dengan mudahnya setiap orang dapat menjumpainya dimanapun, dan kapanpun mereka kehendaki, bahkan terkadang kita tidak perlu mencari informasi-pun, info tersebut kadang datang sendiri pada kita, ini membuktikan bahwa pesatnya perkembangan teknologi telah menyentuh setiap unsur dunia ini. Hal yang paling menonjol saat ini adalah perkembangan teknologi yang di arahkan pada dunia infotaiment, perfilman dan artistic contohnya. Berbagai hiburan kini dikemas dalam bentuk yang lebih terdesign rapi, indah dan berbobot modernisasi.
Penggunaan teknologi yang semakin canggih, telah membuat manusia terbalut dalam pilihan. Kita telah menyadari apapun yang hendak kita kerjakan memiliki nilai-nilai tawaran untuk memilih, dan memastikan antara yang baik dan yang buruk, atau antara hitam dan putih. Dalam menentukan hak pilihan kita, tak ada yang mampu menghalangi apa lagi memaksa, karena hal tersebut merupakan hak asasi setiap individu di muka bumi ini.
Dalam opini saya ini, sengaja saya tulis judul "Meramu Film sebagai Helm". Hal ini berdasarkan asumsi semakin melangitnya dunia perfilman nasional maupun internasional, akan tetapi moralitasnya masih membumi, artinya masih sulit terkendalikan oleh dunia perfilman itu sendiiri, terlebih dengan meluasnya sarana Teknologi Informatika (TI) di mana-mana yang juga kini malah tampak durhaka pada manusia. Padahal hasil ciptaan manusia sendiri, ya… tak menutup kemungkinan saking hebatnya karya-karya manusia, sampai-sampai karya-karya manusia tersebut akan menghancurkan manusia itu sendiri, sebabnya adalah ketidak mampuan manusia lagi untuk mengendalikannya, baik secara intelektual maupun spiritual.
Hal ini serupa dengan film-film yang menjadi hidangan mentah bagi jendela dunia kita (mata), suatu awal kehancuran apabila manusia terhipnotis dan dikendalikan oleh tayangan-tayangan film yang apmoral dan membawa misi pengkroposan ideology dan psikology. Hal demikian terjadi sebab kurangnya intelegient dan spiritual Question seseorang, apa yang kita lihat seharusnya dapat diracik dalam otak kita sebagai pusat untuk memilih sebelum kita meresapi hikmah ataupun nilai-nilai positf yang dapat kita petik dari sebuah tayangan film ke dalam hati nurani kita, jadikan iman dan takwa kita sebagai "helm" yang bisa melindungi hati dan otak/pikiran kita dari kecelakaan moral dahsyat dan benturan ideology yang sangat keras, sehingga kita perlukan perawatan medis insaniyah dan ilahiyyah.
Kalau kita ikuti perkembangan perfilman dewasa ini, kita jangan sampai tertipu dengan balutan dan tampilan yang bernuansa religi, tak jarang misi-misi negative juga terselip di balik tampilan film-film berjilbab ataupun berpeci tersebut. Karena setiap film yang dirilis tentunya memiliiki nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada setiap orang yang melihatnya. Kalau yang jelas berbau relegi saja harus diwaspadai aplagi yang bukan nuansa islami, Atau perasukan benalu itu bukan melalui nilai-nilai yang terkandung dalam inti tujuan film tersebut, melainkan dari pengurasan dan penguasaan yang tak kita sadari, yaitu film yang menikam kita lewat waktu. Banyak waktu yang kita sia-siakan, dan banyak waktu yang kita korupsikan untuk beribadah wajib (apalagi yang sunnah).
Itulah deskripsi problema film-film yang yang harus kita waspadai, disamping itu juga banyaknya film yang kita konsumsi bernilai positif dan membangun jiwa serta semangat dalam berjuang menuju ridho Ilahi Robbi. Dan inilah yang harus kita ramu sebagai helm (pelindung) jiwa dan raga kita. Bagaimana dengan anda?

raih cita-cita lewat cinta

RAIH CITA-CITA
LEWAT CINTA
Oleh: Alfithrah AA

Cita-cita, pasti semua orang mempunyainya. Demikian juga cinta. Kita mulai dari yang pertama. Setiap orang yang berpikiran ke depan pasti memiliki cita-cita. Semua orang berhak untuk bercita-cita dan untuk memperjuangkannya sampai cita-cita itu bisa diraih. Bahkan ada pepatah yang mengatakan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Ini maksudnya agar hidup kita mempunyai tujuan dan ada sesuatu yang akan kita perjuangkan untuk kita raih. Dibandingkan orang yang tidak memiliki cita-cita—yang biasanya hidup asal hidup, tanpa memiliki tujuan yang pasti—orang yang bercita-cita akan lebih optimis dalam kesehariannya, punya tujuan hidup dan melangkah pasti menjadi manusia pembelajar.
Karena punya cita-cita, kita memiliki harapan. Dengan bercita-cita, ada yang kita tuju. Dan jika cita-cita itu telah menjadi kenyataan maka perasaan bahagia akan menyelimuti jiwa kita. Misalnya seorang gadis dewasa yang sekian lama mendambakan seorang pria tampan dan bertanggung jawab untuk menjadi suaminya. Ketika impian itu jadi kenyataan, di hari pernikahannya mungkin dia akan menangis… bukan tangis kesedihan tapi itu yang dinamakan “tangis bahagia”. Cita-cita yang sederhana bisa jadi penuh makna jika kita benar-benar memimpikannya.
Di samping cita-cita, kita juga ternyata membutuhkan cinta, baik cinta (kasih sayang) dari orang tua, saudara, sahabat, lingkungan sekitar dan lebih khusus lagi dari seseorang yang kita harapkan akan jadi pendamping hidup kita. Kita selalu membutuhkan cinta sebagaimana kata pujangga, “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga…” Ini hanya sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa sesungguhnya secara fitrah kita membutuhkan perhatian, kasih sayang dan cinta dari orang lain. Kita membutuhkan cinta kasih sesama manusia! Kita tidak dapat hidup sendiri. Jika kita sendirian maka kita akan kesepian. Dalam kesepian, kita akan merana dan hati akan meronta mencari kedamaian. Mencari cinta dari sudut pandang yang sempit bisa diberi makna mencari pendamping hidup yang nantinya menjadi pelabuhan cinta kita dalam sebuah mahligai rumah tangga melalui sebuah pintu pernikahan yang sakral.
Sesuai dengan judul opini ini, Apakah cita-cita dan cinta bisa jalan bergandengan? Ini adalah sebuah pertanyaan bagaimana antara cita-cita dan cinta dalam hidup bisa kita raih, apakah bersamaan, cita-cita dulu baru cinta atau sebaliknya, atau yang satu harus mengorbankan yang lain…
Menurutku “bisa”, cita-cita dan cinta bisa berjalan bersama, dengan alasan seseorang bisa lebih bersemangat dalam mengejar cita-citanya demi membahagiakan orang yang dicintai. Orang yang dicintai bisa bermakna orang tua, keluarga, orang yang nantinya menjadi jodoh kita atau orang yang patut kita sayangi sebagai rasa ta'dzim kita (guru kita). Siapa pun orang yang kita kasihi, pasti kita ingin mempersembahkan yang terbaik untuk mereka, karena mereka adalah orang yang berjasa dalam hidup kita.
Pendapat di atas memang benar. Jika kita memiliki orang yang kita kasihi, kita berjuang dengan energi maksimal untuk meraih kesuksesan di bidang apa pun yang kita tekuni. Jika telah berhasil, semua buah dari jerih payah kita akan kita persembahkan untuk mereka yang kita kasihi. Kita memiliki energi pendorong yang berasal dari sebuah emosi yang disebut cinta. Energi ini sangat dahsyat bagi mereka yang tahu cara menggunakannya.
Hal ini dapat kita pahami dari hasil penelitian David R. Hawkins, M.D., Ph.D selama 20 tahun yang menunjukkan bahwa perasaan cinta merupakan salah satu emosi yang berada pada level energi positif yang bisa memberikan percepatan terhadap terwujudnya keinginan kita. Dalam tabel Map of Consciousness, cinta berada di bawah level energi pencerahan, kedamaian dan suka cita. Sedangkan di bawah level energi cinta ada berpikir, penerimaan, kemauan, dan netralitas. Semua jenis emosi tersebut berada di atas baseline sehingga bernilai positif (memancarkan energi positif) dan mempermudah pencapaian segala sesuatu dalam hidup kita. Jenis emosi yang berada di bawah baseline dan merugikan karena mengikis energi kita adalah perasaan bangga, marah, keinginan (desire), takut, kesedihan mendalam, apatis, rasa bersalah dan rasa malu (shame). Semua perasaan/emosi di atas baseline bermanfaat dan yang berada di bawah baseline merugikan kita.
Perasaan cinta memberikan pancaran energi positif yang membantu mempermudah terwujudnya apa yang kita inginkan. Cinta memberikan semangat. Lebih dari itu, cinta membuat jiwa kita lebih hidup. Cinta di sini adalah sebuah emosi yang memberikan pancaran energi, bukan dalam konteks perasaan manusia berlawanan jenis yang sedang dimabuk asmara yang kadang dicampuradukkan dengan nafsu. Pendek kata, jika kita bekerja pada level energi cinta maka segala sesuatu akan lebih mudah kita raih.
Cita-cita dan cinta jelas bisa seiring selama orang yang kita cintai mendukung apa yang kita cita-citakan, atau kita telah mendapatkan cinta yang kita cita-citakan. Menurut saya, ini sangat masuk akal, karena jika orang yang kita cintai mendukung usaha kita maka kita akan mendapatkan sumber motivasi yang dahsyat. Jadi, kita tidak perlu susah payah menghadiri seminar-seminar motivasi atau membaca buku-buku motivasi karya motivator papan atas negeri ini. Cukup dimotivasi oleh seseorang yang kita cintai, jika itu memadai. “Mendapatkan cinta yang kita cita-citakan”, mungkin ini adalah yang diharapkan dari sebuah pencarian cinta.
Sekarang, jika cinta itu kita maknai sebagai seseorang yang kita kasihi. Kita mencintainya karena berharap si dia akan jadi pendamping hidup kita. Dalam perjalanan meraih cita-cita ini mungkin akan bercampur dengan kisah Arjuna Mencari Cinta. Jadi, seperti kisah sinetron saja… Sambil meraih cita-cita kita menjalin cinta atau sebaliknya.
Cinta yang goyah oleh jarak dan waktu bukanlah cinta yang murni walau mungkin mulut berikrar sehidup semati. Cinta seperti ini jika diukur seperti emas bukanlah emas 24 karat, namun emas sekarat yang berkarat, hehe…
Ada lagi, sepasang muda-mudi menjalin cinta sambil meniti cita-cita. Eh, tiba-tiba si gadis berbadan dua gara-gara cintanya. Ini namanya MBA (Marriage by Accident). Cintanya bukanlah cinta yang suci, tapi cinta yang terpolusi oleh nafsu yang tak terkendali. Gara-gara peristiwa MBA ini, si gadis terpaksa harus keluar (atau dikeluarkan) dari sekolahnya. Padahal masa depannya akan cerah jika ia terus menempuh pendidikan sampai akhir. Cita-citanya kandas karena kesalahannya dalam memaknai cinta…
Sebenarnya semua itu tidak harus terjadi seandainya si pelaku memiliki kedewasaan berpikir dan pengendalian emosi. Cinta yang berujung pilu (merugikan, memalukan, menyengsarakan) mungkin yang disebut cinta monyet. Bisakah pelakunya disebut monyet? Buktinya mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk… sama dong dengan nyemot, eh… monyet! Biasanya cinta seperti ini dimiliki orang yang belum dewasa (tidak cuma usianya, namun juga pemikirannya). Terus, bagi orang yang sudah dewasa cintanya disebut cinta gorila dong…, habis gorila kan lebih besar dari monyet? Terserah Anda, mau nggak disebut gorila?!
Ternyata dalam meraih cita-cita, energi cinta ini banyak sekali manfaatnya, baik untuk memotivasi maupun untuk penyeimbang jiwa kita yang pada dasarnya membutuhkan cinta. Dan yang lebih agung lagi, apapun yang kita lakukan dalam meraih cita-cita semuanya kita persembahkan demi meraih cinta yang hakiki, yakni cintanya Sang Pemilik Cinta. Dialah yang menciptakan kita dengan cintaNya, dengan sifat Rahman dan RahimNya. Milikilah sebuah “cinta” niscaya cita-cita akan lebih mudah tercapai! Saya sengaja menulis kata “cinta” dalam tanda petik, memberi kebebasan kepada Anda secara pribadi untuk memaknainya. Dengan demikian, jika cita-cita seiring sejalan dengan cinta, kaifa laa? [ar]
RAIH CITA-CITA
LEWAT CINTA
Oleh: Alfithrah AA

Cita-cita, pasti semua orang mempunyainya. Demikian juga cinta. Kita mulai dari yang pertama. Setiap orang yang berpikiran ke depan pasti memiliki cita-cita. Semua orang berhak untuk bercita-cita dan untuk memperjuangkannya sampai cita-cita itu bisa diraih. Bahkan ada pepatah yang mengatakan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Ini maksudnya agar hidup kita mempunyai tujuan dan ada sesuatu yang akan kita perjuangkan untuk kita raih. Dibandingkan orang yang tidak memiliki cita-cita—yang biasanya hidup asal hidup, tanpa memiliki tujuan yang pasti—orang yang bercita-cita akan lebih optimis dalam kesehariannya, punya tujuan hidup dan melangkah pasti menjadi manusia pembelajar.
Karena punya cita-cita, kita memiliki harapan. Dengan bercita-cita, ada yang kita tuju. Dan jika cita-cita itu telah menjadi kenyataan maka perasaan bahagia akan menyelimuti jiwa kita. Misalnya seorang gadis dewasa yang sekian lama mendambakan seorang pria tampan dan bertanggung jawab untuk menjadi suaminya. Ketika impian itu jadi kenyataan, di hari pernikahannya mungkin dia akan menangis… bukan tangis kesedihan tapi itu yang dinamakan “tangis bahagia”. Cita-cita yang sederhana bisa jadi penuh makna jika kita benar-benar memimpikannya.
Di samping cita-cita, kita juga ternyata membutuhkan cinta, baik cinta (kasih sayang) dari orang tua, saudara, sahabat, lingkungan sekitar dan lebih khusus lagi dari seseorang yang kita harapkan akan jadi pendamping hidup kita. Kita selalu membutuhkan cinta sebagaimana kata pujangga, “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga…” Ini hanya sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa sesungguhnya secara fitrah kita membutuhkan perhatian, kasih sayang dan cinta dari orang lain. Kita membutuhkan cinta kasih sesama manusia! Kita tidak dapat hidup sendiri. Jika kita sendirian maka kita akan kesepian. Dalam kesepian, kita akan merana dan hati akan meronta mencari kedamaian. Mencari cinta dari sudut pandang yang sempit bisa diberi makna mencari pendamping hidup yang nantinya menjadi pelabuhan cinta kita dalam sebuah mahligai rumah tangga melalui sebuah pintu pernikahan yang sakral.
Sesuai dengan judul opini ini, Apakah cita-cita dan cinta bisa jalan bergandengan? Ini adalah sebuah pertanyaan bagaimana antara cita-cita dan cinta dalam hidup bisa kita raih, apakah bersamaan, cita-cita dulu baru cinta atau sebaliknya, atau yang satu harus mengorbankan yang lain…
Menurutku “bisa”, cita-cita dan cinta bisa berjalan bersama, dengan alasan seseorang bisa lebih bersemangat dalam mengejar cita-citanya demi membahagiakan orang yang dicintai. Orang yang dicintai bisa bermakna orang tua, keluarga, orang yang nantinya menjadi jodoh kita atau orang yang patut kita sayangi sebagai rasa ta'dzim kita (guru kita). Siapa pun orang yang kita kasihi, pasti kita ingin mempersembahkan yang terbaik untuk mereka, karena mereka adalah orang yang berjasa dalam hidup kita.
Pendapat di atas memang benar. Jika kita memiliki orang yang kita kasihi, kita berjuang dengan energi maksimal untuk meraih kesuksesan di bidang apa pun yang kita tekuni. Jika telah berhasil, semua buah dari jerih payah kita akan kita persembahkan untuk mereka yang kita kasihi. Kita memiliki energi pendorong yang berasal dari sebuah emosi yang disebut cinta. Energi ini sangat dahsyat bagi mereka yang tahu cara menggunakannya.
Hal ini dapat kita pahami dari hasil penelitian David R. Hawkins, M.D., Ph.D selama 20 tahun yang menunjukkan bahwa perasaan cinta merupakan salah satu emosi yang berada pada level energi positif yang bisa memberikan percepatan terhadap terwujudnya keinginan kita. Dalam tabel Map of Consciousness, cinta berada di bawah level energi pencerahan, kedamaian dan suka cita. Sedangkan di bawah level energi cinta ada berpikir, penerimaan, kemauan, dan netralitas. Semua jenis emosi tersebut berada di atas baseline sehingga bernilai positif (memancarkan energi positif) dan mempermudah pencapaian segala sesuatu dalam hidup kita. Jenis emosi yang berada di bawah baseline dan merugikan karena mengikis energi kita adalah perasaan bangga, marah, keinginan (desire), takut, kesedihan mendalam, apatis, rasa bersalah dan rasa malu (shame). Semua perasaan/emosi di atas baseline bermanfaat dan yang berada di bawah baseline merugikan kita.
Perasaan cinta memberikan pancaran energi positif yang membantu mempermudah terwujudnya apa yang kita inginkan. Cinta memberikan semangat. Lebih dari itu, cinta membuat jiwa kita lebih hidup. Cinta di sini adalah sebuah emosi yang memberikan pancaran energi, bukan dalam konteks perasaan manusia berlawanan jenis yang sedang dimabuk asmara yang kadang dicampuradukkan dengan nafsu. Pendek kata, jika kita bekerja pada level energi cinta maka segala sesuatu akan lebih mudah kita raih.
Cita-cita dan cinta jelas bisa seiring selama orang yang kita cintai mendukung apa yang kita cita-citakan, atau kita telah mendapatkan cinta yang kita cita-citakan. Menurut saya, ini sangat masuk akal, karena jika orang yang kita cintai mendukung usaha kita maka kita akan mendapatkan sumber motivasi yang dahsyat. Jadi, kita tidak perlu susah payah menghadiri seminar-seminar motivasi atau membaca buku-buku motivasi karya motivator papan atas negeri ini. Cukup dimotivasi oleh seseorang yang kita cintai, jika itu memadai. “Mendapatkan cinta yang kita cita-citakan”, mungkin ini adalah yang diharapkan dari sebuah pencarian cinta.
Sekarang, jika cinta itu kita maknai sebagai seseorang yang kita kasihi. Kita mencintainya karena berharap si dia akan jadi pendamping hidup kita. Dalam perjalanan meraih cita-cita ini mungkin akan bercampur dengan kisah Arjuna Mencari Cinta. Jadi, seperti kisah sinetron saja… Sambil meraih cita-cita kita menjalin cinta atau sebaliknya.
Cinta yang goyah oleh jarak dan waktu bukanlah cinta yang murni walau mungkin mulut berikrar sehidup semati. Cinta seperti ini jika diukur seperti emas bukanlah emas 24 karat, namun emas sekarat yang berkarat, hehe…
Ada lagi, sepasang muda-mudi menjalin cinta sambil meniti cita-cita. Eh, tiba-tiba si gadis berbadan dua gara-gara cintanya. Ini namanya MBA (Marriage by Accident). Cintanya bukanlah cinta yang suci, tapi cinta yang terpolusi oleh nafsu yang tak terkendali. Gara-gara peristiwa MBA ini, si gadis terpaksa harus keluar (atau dikeluarkan) dari sekolahnya. Padahal masa depannya akan cerah jika ia terus menempuh pendidikan sampai akhir. Cita-citanya kandas karena kesalahannya dalam memaknai cinta…
Sebenarnya semua itu tidak harus terjadi seandainya si pelaku memiliki kedewasaan berpikir dan pengendalian emosi. Cinta yang berujung pilu (merugikan, memalukan, menyengsarakan) mungkin yang disebut cinta monyet. Bisakah pelakunya disebut monyet? Buktinya mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk… sama dong dengan nyemot, eh… monyet! Biasanya cinta seperti ini dimiliki orang yang belum dewasa (tidak cuma usianya, namun juga pemikirannya). Terus, bagi orang yang sudah dewasa cintanya disebut cinta gorila dong…, habis gorila kan lebih besar dari monyet? Terserah Anda, mau nggak disebut gorila?!
Ternyata dalam meraih cita-cita, energi cinta ini banyak sekali manfaatnya, baik untuk memotivasi maupun untuk penyeimbang jiwa kita yang pada dasarnya membutuhkan cinta. Dan yang lebih agung lagi, apapun yang kita lakukan dalam meraih cita-cita semuanya kita persembahkan demi meraih cinta yang hakiki, yakni cintanya Sang Pemilik Cinta. Dialah yang menciptakan kita dengan cintaNya, dengan sifat Rahman dan RahimNya. Milikilah sebuah “cinta” niscaya cita-cita akan lebih mudah tercapai! Saya sengaja menulis kata “cinta” dalam tanda petik, memberi kebebasan kepada Anda secara pribadi untuk memaknainya. Dengan demikian, jika cita-cita seiring sejalan dengan cinta, kaifa laa? [ar]

Cinta