Jumat, 09 April 2010


Sudah Diakah Su’adahku ?[1]
(Bq. Alief Al-kendariy[2])

        Dari kejauhan ujung jalan raya, terlihat bayangan sosok pemuda yang berjalan penuh rasa riang dan semangat, begitu bahagianya sampai terpancarkan senyuman dalam percikan cahaya lampu jalan yang dilewatinya. Keremangan yang sedikit menguning itu memberikan syahdu yang berbeda sore itu. Ada sedikit tawa ringan terdengar dari bayangan pemuda itu. Tawa canda yang agak romantis, begitu indah kata-kata lirihnya saat kumendengar sedikit syair-syair cinta yang melocat dari bibirnya, pemuda itu mulai mengarah cepat ke arahku, ternyata aku tidak mengenalnya sama sekali, dengan sedikit senyuman dia bertanya.
“ Bisa pinjam pulpennya mas?” tangannya masih memegang telepon genggam, ternyata dari kejauhan tadi dia lagi nelpon seseorang, aku gak tau siapa seseorang yang bisa membuat pria itu menjadi bahagia seperti itu, aku berfikir sejenak, apakah seorang itu malaikat ataukah bidadari yang dititipkan pada pria ini, lamunanku pun melayang kemana-mana.
“Mas…Mas”, eh maaf mas, ini pulpennya, lamunankupun buyar seketika itu juga.
“Mas geser sedikit dong…!”, dengan tanpa ada rasa curiga sedikitpun dia kemudian mengambil posisi duduk tepat di sebelahku, ya soalnya hanya ada satu bangku kecil di sana, hanya cukup untuk dua orang,
“Emmmh… mas jam berapa ya sekarang?” Tanyaku sdikit berbisik pada pria itu, tapi dia sama sekali  tidak menghiraukan pertanyaanku, tak ada gubrisan[3] sedikitpun, dia tetap fukus dan serius mendengarkan kata demi kata yang keluar dari sound HPnya, aku jadi penasaran apa sih yang didengar dan ditulisnya, gejolak ini makin menggebu untuk ingin mengetahui tulisan apa yang ia ukir di atas kertas kusut yang diambil dari dalam saku celana jeansnya saat kerutan keningnya makin ikut mengerut serius saat itu, sepertinya kabar yang sangat berharga, bak menemukan alamat harta karun dari dasar bumi, atau kabar datangnya bidadari dari langit, ah lamunanku keterlaluan ya…, bisik hatiku pelan sambil menggeleng-geleng kecil. Aku yang duduk di sampingnya terus menyimpan ribuan tanda tanya padanya, sesekali mataku melirik ke arah kertas itu, baru ada lima baris yang ditulisnya, kurang jelas untuk di baca dari arah samping, tulisannya berantakan, entah ia hendak melanjutkan tulisannya atau tidak, ia berhenti sejenak, tangannya begitu erat menggenggam penaku itu dan tiba-tiba makin berubah erat dari sebelumya, kok tak seperti genggaman para penulis biasa sih, kaya megang pisau aja?, aneh kurasa.
 “Makasih ya Mas….”, teriaknya sambil melemparkan pena dengan pelan ke arah tas dalam pangkuanku dan bergegas lari tergesa-gesa ke arah awal dia kesini tadi, aku lebih baik diam kalau begini. Aku tak tahu apa yang dikehendaki oleh Allah olehnya, sebegitu bencikah Allah dengannya atau denganku, atau justru sebaliknya menjadi kasih sayang yang belum melintas di benak kami, pria yang awalnya kulihat bayak menaburkan rasa riang dan penuh benih cinta dengan lawan bicaranya di HP tadi tiba-tiba susah dan sedih dalam sekejap angin lalu dan meninggalkanku sendirian di bangku kayu itu bersamaan dengan berkumandangnya Adzan Maghrib dari menara-menara masjid dan menggema di semua petala langit desa Keputih, begitu cepat pertemuan itu, tapi mengapa harus adzan maghrib yang memisahkan kita, kok bukan hujan, atau gempa bumi saja, bisiku sedikit mengerutkan dahi. Aku yang masih terdiam, hanya bisa merenung mengharap ada jawaban Allah saat itu, jawaban dengan beribu hikmah dalam kebingunagan yang sulit untuk menjadi bahan berfikirku. Pandanganku masih mengikuti arah pemuda itu, makin jauh, terus ke ujung jalan dan sedikit demi sedikit menghilang di telan bumi, rasanya tak ada gunanya memaggilnya untuk kembali lagi, apalagi Cuma sekedar Tanya nama tau menanyakan apa yang terjadi dengannya, bagaimana tidak pertanyaanku saat dia dekat di sampingku tadi saja tidak digubrisnya apalagi ketika jauh seperti itu. Ya Allah apa maksud semua ini Ya Allah…? Mudahkanlah hamba untuk mencari hikmah di balik semua ini.
Wah kayaknya sudah pukul 18.00 nih atau paling tidak lebih sedikit lah, tegasku menjawab pertanyaanku yang sempat tidak terjawabkan oleh pemuda tadi itu, paling tidak kan Allah yang memberi Jawabannya lewat lantunan Adzan Magrib yang indah ini, mega merah yang mulai tenggelam hitam sepertinya ingin mengajakku melangkah ke masjid, dan dengan langkah yang masih mengharapkan Ridho Ilahi Rabbi, ku hampiri Rumah Allah dengan rasa yang sulit aku ugkapkan saat ini, tak ada langkah yang ku lewati kecuali hentakan dzikir yang senada dengan detak jantung ini, “Allah…Allah…Allah…”, hampir sampai di depan masjid, masih sejalur dengan jejak yang dilalui pemuda misterius itu, kutemukan sampah serpihan kertas  yang berserakan di depan gerbang masjid, kok gak ada yang bershikan sih? Tanyaku sedikit geremeng[4], tanpa banyak berfikir akupun langsung mengambilnya dengan niat untuk membersihkan sampah-sampah itu Lilahi Ta’ala, kertas yang telah disobek-sobek menjadi lima bagian, kaya orang gak ada kerjaan saja. Akupun mencari-cari tampat sampah yang ada disekitar itu. Tak satupun tempat sampah yang kutemukan di gerbang depan masjid Al-Kautsar itu.
“Allahu Akbar….Allahu Akbar…. Asyhadu Anlla ilaha illalllah…” belum sempat aku membuang sampah itu, Iqomah mulai berdengung cepat, menandakan Sholat akan segera dimulai, terpaksa sampah-sampah itu ku masukkan dalam saku kemejaku lalu bergegas mengambil air wudhu. Bertemu air wudhu’ rasanya suatu kesegaran tersendiri bagiku, bukan hanya segar di kulit, sejuk juga terasa di hati ini, semoga dosa-dosa anggota wudluku terhapus lewat aliran air yang menyimpan seribu makna ini. ketinggalan satu rakaat bagiku gak masalah, mendingan jadi makmum masbuk[5] dari pada munfarid[6] , Sholat jamaah bagiku adalah yang terpenting, banyak faedah yang kudapatkan di sana walaupun harus berada di sahaf akhir dan tidak mendapatkan faedahnya Shaf awal. Surat Al-Ikhlash usai di baca oleh imam, terus ruku’, begitu serentak para jama’ah mengiuti imamnya, sangat rapi kelihatannya, kemudian semuanya sujud. Aku merasakan ada yang beda di sana, saat manusia kelihatan di bawah, kekhusu’an yang menghawakan udara masjid membuatku merinding, apa karena posisiku yang masih berdiri dan merasa tinggi dari mereka yang sujud?. Asstaghfirullah betapa sombongnya diriku jika bisikan alam dan hawa ‘isya’aini ini mengatakan iya pada makhluk yang lainnya. Lalu mereka bangkit dari sujud dan imam pun memulai bacaan Fatihahnya dengan fasih[7] di rakaat yang kedua, Akupun masuk di terngah-tengah shaf kosong dan aku sadar bahwa saat ini, mereka berdri sepertiku, kalau saat orang beribadah pada-Nya semua sama, tak ada yang berbeda, siapapun dia, semua sama di hadapan Allah.
Allahu Akbar…” kumulai takbirku dengan sekuat mungkin berusaha untuk khusu’ dan Khudu’,
“Ghoiril Maghdluubi ‘Alihim Walladl-Dlooliin…” Indah, imam mengakhiri fatihahnya dengan nada sedikit panjang dan bergelombang.
Aaamiin….” Serentak para makmum menyahut juga menggetarkan masjid dan sudah kebiasaanku, akupun tak lupa menyelipkan doa sebelum jawaban Fatihah itu. Doa agar bertemu dengan jodoh yang telah lama Allah rahasiakan padaku, wanita yang mencintaiku karena mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Surat An-Nas kemudian dibaca oleh imam, akupun mendengarkannya dengan seksama, sesekali kuterjemahkan ayat demi ayat yang bagiku sangat lebih dari sekedar puitis itu. Ini adalah firman Allah yang megingatkanku agar tidak terjebak oleh rayuan setan dan membuat aku was-was dalam sholat, tapi kenapa semakin aku berpikir untuk husnudzan[8] , semakin membuatku was-was dalam sholat, kucoba, lagi dan terus kocoba hingga Ruku’pun menunduk. Dan ternyata tak kusadari dalam ruku’ku itu tiba-tiba dua recehan coin Rp 500,- bersama serpihan-serpihan sampah kertas tadi jatuh ke lantai, dan gemercingnya pun memecah usaha dalam khusu’ku sejak awal sholat tadi. Apa ini benar-benar balasan dari Su’udzanku[9] pada ayat-ayat Allah dalam Sulat An-Nas tadi atau mugkin Allah memiliki jawaban yang lain dari ini? Tanyaku dalam hati.
Tanpa segaja aku melihat serpihan kertas yang kupungut di depan masjid tadi, ada tulisan tergores di sana. Ku coba untuk tidak membacanya, khawatir menggagu sholatku. “Rasaya aku pernah melihat tulisan ini”, tanyaku penasaran dalam hati, “tapi dimana ya…?” Otakku berusaha beradu dalam hati lagi, gerak demi gerak dalam sholat terus berlangsung, hingga aku menyempurnkan satu rakaat masbukku tadi. Sholat tanpa imam dan ditambah adaya penasaran yang mendalam tentang kertas dan tulisan ini membuat aku sedikit mempercepat gerak sholatku. Tak terhindarkan lagi bujukan setan di otak ini, dan tak terarahkan lagi zaugh dalam hati ini. Sabarku mulai ciut karenanya. Dan ku akhiri sholatku dengan salam, Aku yakin hanya Allah yang bisa membalas burukya ibadahku pada-Nya.
Sebagian Jama’ah lain telah selesai sholat sunnah Ba’diyyah[10] dan satu persatu mulai meinggalkan masjid, aku yang sejak tadi terus memaksa berfkir tentang kehendak Allah ini, langsung megambil kertas dan koin tadi. Bergegas keluar masjid dan duduk di serambi masjid. Ku susun potongan kertas yang seharusnya aku buang itu, seperti main puzzle[11] aja, dan ternyata benar dugaanku waktu sholat tadi. Kalau tulisan itu pernah aku lihat sebelumnya, ternyata tulisan lima baris yang berantakan itu. Semakin gak jelas dengan kusutnya kertas itu. “ Masya Allah inikan tulisan pemuda aneh sore tadi. Akupun menyambung-nyambung Kertas itu, agar tulisannya dapat dibaca, ternyata ada tambahan di bawahnnya,

·          SABAR
·          JUJUR
·          ORANG yang jauh
·          BUKAN mahasiswa IAIN
·          Bukan PUTRA kiyai

DEPAN Warung Es pisang ijo MARINA Plaza
Jam 8 pagi 

Aku tambah bertanya-tanya apa maksud semua tulisan ini, kenapa semakin Allah menjawab pertayaan hatiku, semakin bertambah pertanyaan di hati ini?, gelisah dan bingung menggerogoti jiwaku. Aku heran kenapa pemuda itu membuang dan menyobek-nyobek kertas ini, dan kenapa juga dia lari tergesa-gesa setelah menulis itu. Ya Allah berilah petunjuk-Mu ya Allah.
Aku yang sedikit kewalahan sempat berbaring sejenak di serambi masjid, sambil menunggu masuknya Waktu Isya’. Dalam tudurku yang sebentar, aku sempat bermimpi, bertemu dengan seorang wanita yang begitu anggun dengan pakaian pink muslimahnya, dia tersenyum padaku dan hendak bersalaman, namun belum sempat ia bersalaman denganku, dentuman bedug membuyarkan lelap mimpiku, aku langsung kaget dan terbangun. Melihat-lihat sekitar berharap bukan sebuah mimpi, tapi tak seorangpun yang berkerudung pink di sana. Ah inikah bisikan-MU Ya Allah.  Berkumandanglah Adzan Isya’ di corong-corong masjid Al-kaustar. Aku Wudhu dan kembali menunaikan Sholat Maktubah[12], kali ini utuh, bukan masbuk lagi. Alhamdulillah, Getirku makin yakin.
Usai sholat aku bertanya pada seorang jama’ah, tentang tulisan terakhir kertas tadi. Dia pun memperlihatkan tulisan itu “Warung Es Pisang Ijo Marina Plaza”,
“ Ooo… itu di jalan Ahmad Yani Mas, tepat di belakang Giant Mall Surabaya, di sana ada Plaza Marina”, jawab bapak sepuh yang sekaligus menjadi takmir masjid itu,
“ Terus Warung Es pisang Ijonya?”, tanyaku kurang puas,
“ Kalau warung itu biasanya banyak berjejer tepat di sekitar Plaza itu.
“ Ooo… makasih ya pak”, balasku sedikit lega.

***
Pagi hari di Ahmad yani, aku makin penasaran dengan dengan sumber kata-kata ini, siapakah dia yang membuat pria misteri itu menjadi putus asa, tepat pukul delapan pagi, aku berdiri di depan Marina Plaza, ternyata masih sepi pengunjung di plaza itu, kayaknya baru buka setengah jam lagi, lalu lalang kendaraan membuatku harus memilih diantara ribuan pengendara, adakah dia diantara mereka, selang beberapa menit ada gerobak Es yang lewat depan Plaza, aku yang mulai haus dalam kerongkongan langsung menghampirinya.
“ Pak esnya pak..!” teriakku sambil melambaikan tangan.
Sejenak gerobak itu berhenti dan menunjuk ke arah dua pohon palm yang sangat besar, sepertinya dia menyuruhku ke sana, bapak itu pun terus mendorong gerobaknya ke arah pohon palm itu. Sepertinya dia sudah biasa membuka warung di bawah pohon itu,
“Mau minum es ya mas?” Tanya bapak itu menawarkan sambil memarkir grobaknya tepat diantara dua palm itu. 
“Iya pak, emang ada es apa aja pak, kok gak ada tulisannya di gerobak bapak…?” balasku heran sedikit santai.
“Ya belum ada lah mas, sa belum pasang pi juga kain ma tendanya[13]” jawabnya kental dengan logat makassarnya,
“ lho...kita orang makassar ta pak…?[14] Tanyaku imbangi logat makassarnya.
Iyo to…, kan sa jual Es pisang Ijo, Makanan Khasnya ji Makassar di sini, saya Asli makassar toh.[15]” Senyumnya menyebar.
“Sama ji pak, kalau saya dari kendari ji juga pak…,dekatnya makassar ji, kasi satu es pisang ijonya ta pak…![16]
“ Ooo pantasan ko bisa juga pake bahasa Makassar, ternyata kita orang sana ji juga dih, ini esnya mas[17]
“ Makasih pak,”

Belum lama aku menyicipi es itu tiba-tiba, ada seorang wanita dengan sepeda motor kawasakinya berhenti tepat di depan warung es itu, aku makin heran dengan gerak-geriknya yang agak gelisah, sepertinya dia menunggu seseorang di sana.
“Neng…hari ini mau bungkus es berapa nih…?” Tanya bapak itu, dengan sedikit seyuman paginya. Sepertinya dia sudah menjadi pelanggan tetapnya di sini.
“ Dua aja ya pak, yang satu gak pake es !” suaranya merdu, menusuk ke dalam hati ini.
Pak kok tak di suruh masuk sih, kan kasihan kepanasan nanti dia di luar ?”, tanyaku sedikit berharap.
“ Ooo neng itu to… biasa ji da tunggu temannya di situ[18], trus…dia jarang mau juga masuk ke sini”
“ Neng ini esnya,”
“ Makasih ya pak, ini uangnya, O ya pak, gak lihat temanku datang ke sini ya…?” Tanya gadis itu sangat menanti.
“ Dari tadi temannya neng yang biasa ke sini tu belum datang, sejak aku buka warung, baru ada satu pembeli tuh di dalam, tapi kayaknya bukan temannya neng deh”.
“ O gitu ya…,”  jawabnya halus sambil melihat jam tangan di lengannya.
“ Ya udah pak aku tunggu di dalam aja, boleh ya pak ?!”
“ Ya boleh lah neng, monggo neng…!” kata pak tua, nadanya guyon.
“ Makasih pak…”
Ada yang berbeda terasa dalam diriku, rasanya kepala ini tersiram air hujan, sejuk dalam detakan jantung yang makin tak teratur. Ada apa dengan diriku?. Apakah ini jawaban dari Allah. “Sudahlah mendingan aku menunggu orang yang aku cari dari tadi”. Bisikku tegar.
“ Berapa mi ini esnya pak?[19]
“ Biasa… Rp.5000 ji[20], special buat orang kendari” jawabnya sedikit guyon.
“ O… Iya pak warung Es pisang ijo yang di depan Marina Plaza itu mana ya pak…kok dari tadi gak buka sih? Tanyaku penasaran.
“ Warung Es Pisang Ijo yang di depan Plaza itu ya ini mas, kalau yang itu warung es kacang ijo, hanya saja tulisan ‘kacang’nya sudah pudar, itu bukanya jam sepuluh”. Terang pak tua padaku.
“ O… jadi warung yang aku cari dari tadi ini ya pak…? Terkejut, mulai susah pakai logat makassarnya.
“Masya Allah, Apa….?” Ah masa dia sich, aku kemudian melirik wanita yang sejak tadi menunggu temanya itu. Dia sedang menulis sesuatu. Entah apa yang ditulisnya di balik buku La-Tahzannya, serius banget.
        Aku semakin yakin kalau dialah wanita yang aku cari selama ini. Aku lalu bertanya sedikit pada bapak tua itu, “ Pak kenal wanita itu gak?”, lirih dalam bisikan.
“ Ya iya lah, dia itu putrinya Kiyai Ma’sum desa sebrang sana, dia tuh baik mas, sering membantu pedagang disekitar sini”, jawab bapak itu sambil mengelap gerobak Esnya yang sedikit bedebu. Aku langsung tercengang minta ampun, rasanya hati ini di siram air esnya pak tua. “Huuf…”, hembusanku laga. Berikan Hamba kekuatan Ya Allah.
Bismillahirahmanirrahim”, ku telan air ludahku, sedikit gugup.
“ Permisi Mbak, Bbboleh pinjam Pena gak…?” grogi berat menyelimutiku.
“ O iya boleh kok, silahkan…!, dia mempersilahkan mengabil penanya di atas meja, merdu suaranya mebuatku makin salah tigkah. aku kemudian mengeluarkan serpihan kertas yang masih ada dalam saku kemeja biruku ini, ku satukan kertas itu seperti main puzzle di masjid tadi malam, kemudian ku tulis ulang kata-katanya. Berharab agar tidak mudah hilang dan mudah di baca pemliknya kelak.
“ Tulis apa mas, kok kertasya di sobek-sobek…?” tanyanya heran.
“ Ah… biasa mbak, eh maksud saya ‘neng’, ini lagi nyari seseorang dari tulisan ini,”
“ Eh… kok dipanggil neng sih”, sanggahnya sedikit menolak.
“ Ya soalnya pak tua manggilnya gitu”,  jawabku beralasan juga. Sambil menulis tulisan itu lebih diperbesar.
“ Huff…, kamu nulis apa sih, serius amat?” tanyanya cemberut tipis.
“ Entar ya neng makanya aku tulis ulang, biar orang lain bisa baca, soalnya yang pertama nulis ini orang lain yang kayaknya lagi stress”. Setelah menulis ini kemudian aku menyuruh gadis itu untuk membacanya, hatiku berharab dialah orangnya.
“ Ni mbak kalau mau baca, tapi jangan di tanya maksudnya ya, soalnya ku juga belum bisa memahaminya” tawarku, sambil mengebalikan penanya.
Belum lama dia membaca tulisan itu, dia kemudian merampas kertas kusut yang telah di sobek-sobek itu. Hampir saja aku membuangnya.
“ Sekarang mas Ukaza Muhammad di mana mas….?” Tanyanya berharap penuh,
“ O… jadi sampean paham dengan tulisan ini, siapa namaya tadi?”
“ Namanya mas Ukaza Muhammad, iya aku yang baca tulisan ini di telepon, aku tidak sadar kalau dia sampai menulisnya”, jawabnya dengan tetesan air mata di pipinya.
“ Udah neng, sekarang aku ingin sampean mejelaskan meksud lima poin itu! Kok sampai membuat Ukaza Muhammad harus menerima fakta yang menikam dari sampean”
Lima poin itu adalah Kriteria calon suamiku kelak. Itu yang selalu aku panjatkan pada Allah setiap sepertiga malamku”, jawabnya makin tegar, sambil mehapus air matanya dengan sisa tissuenya.
“ Jadi dia bukan plilihan hati sampean neng…?” tanyaku berharab ada jawaban Allah dari suara merdunya.
“ Bukan, dia putra kiyai dari Mojokerto. Dan saat ini sedang kuliyah di IAIN Sunan Ampel.
“ O… itu toh jawabannya, sekarang aku sudah tau kenapa Ukaza menjadi sedih kemarin sore”, Jawabku sambil melihat pak tua yang sedang mengacungkan jempolnya padaku, apa maksudnya?
“ Ehm…ehm… warung Esku ni mo dijadikan Forum diskusi ta jangan lama na…?” sentak pak tua, dengan canda logat makassarnya.
“ Hahahaha…”, aku tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Neng hanya terdiam dalam senyum manisnya.
“ O ya neng, boleh minta nomor Hp-nya gak?
“ Boleh, tapi kalau boleh tau namamu sapa ya, dan asal mana kok lancar bahasa makassarnya, ?, tanyanya penasaran.
“ Namaku Muhammad Farrach, yang jelas aku orang jauh kok, lebih jauh dari asal pak tua itu”. Jawabku rileks sambil melirik pak tua yang tersenyum setuju.
“ O… ya udah kita kenalan via Hp aja ya, gak enak ma pak tua, kasihan, entar gak ada yang beli lagi kalau kita duduk di sini lama-lama, hehehee…, ni Nomorku, di simpan ya, ku tunggu telponya malam ini”
“ Alaaah neng ini, bapak cuman bercanda neng, justru adanya pean disini bisa buat warungku laris manis”,
“ hahahaha” serentak kami larut dalam tawa dan senyuman.
“ Ya udah salam kenal dariku ya”.pesannya penuh makna dan amanah, ia mulai mengendarai sepeda motornya.
“ Sama-sama neng, O ya Neng namanya siapa…?” teriakku lantang, hampir lupa nanya nama.
“ Syauqiyatus Su’adah”. Teriaknya menjawab, dari balik helm pinknya.

***
Begitulah kisah pencarian cinta meraka, dan tiga tahun setelah ta’arufanya, Su’adah dan Farrah yang masing-asing baru menyelesaikannya S.1 dan S.2 mereka pun menjawab kehendak Allah untuk sempurakan sepertiga Agamanya bersama-sama. [al]    
                      

                                                             
 
                


[1] Ditulis dalam kutipan doa dan hikmah dari secuil kisah penulis pada sepertiga malam pertama di LPBA.
[2] Mantan Pemred Al-Qolbi (08’-09’)
[3] Respon atau Menghiraukan
[4] (Jawa) suara yang kurang jelas bunyinya.
[5] Jamaah yang tidak nututi rakaat pertamanya imam dalam sholat berjama’ah
[6] Orang yang yang sholat sendirian
[7] Bacaan Qur’an yang sesuai dengan Makrojnya
[8] Berbaik sangka
[9] Berburuk sangka
[10] Sholat sunnah setelah sholat fardhu lima waktu
[11] Permainan meyusun gambar yang berantakan menjadi satu gambar utuh
[12] Sholat Fardhu yang lima waktu
[13] Ya saya kan belum memasang kain den tendanya mas
[14] Lho anda orang makassar ya…?
[15] Ya iya lah, saya kan jual es pisang ijo makanan khas Makassar di sini, ya saya asli Makassar lah.
[16] Sama juga pak, kalau aku dari kendarinya, dekat dengan Makassar kan, minta es pisang ijonya sata pak!
[17] Ooo pantas kau bisa berbahasa Makassar, ternyata kamu orang sana juga ya, ini esnya mas.
[18] Ooo… neng itu ya, dia biasa nunggu temannya di situ.
[19] Berapa harganya pak…?
[20] Biasa Rp.5000,- aja

Senin, 01 Februari 2010

poem lover


Minggu, 31 Januari 2010




 fenomena Ghoib Kiyai As'ad
Syamsul 'Arifin







 Dikisahkan, pada suatu hari Kiai As’ad disuruh Kiai Wahab Hasbullah mengantarkan surat kepada Sunan Ampel. Dia tidak tahu isi surat itu, tapi dia tahu pasti kalau Sunan Ampel sudah almarhum puluhan, atau bahkan ratusan tahun silam. Namun, dia jelas tidak berani menolak perintah gurunya itu. Maka ke mana lagi dia berjalan kalau tidak ke makam sang sunan di Ampeldenta, Surabaya.

Tidak jelas bagaimana pengalaman spiritual yang diperoleh Kiai As’ad dalam mengemban tugas itu. Namun, yang pasti, reaksi Kiai Wahab, ketika dilapori bahwa suratnya sudah ditaruh persis di atas nisan sang sunan, beliau merasa bersyukur karena Sunan Ampel telah merestui pembentukan jam’iyah NU.

“NU adalah tarekat saya, sesuai dawuh (perintah) Sunan Ampel,” tutur Kiai Wahab.

Dikiisahkan pula, ketika Nahdhatul Ulama mengadakan hajatan di Sukorejo, yaitu Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU 1984, bantuan logistik mengalir, bahkan melimpah, dari masyarakat, khususnya warga NU. Tujuh hari sebelum acara, tercatat telah terkumpul 20 ekor sapi, 50 ekor kambing, 200 ekor ayam kampung, 15 ton beras, dan lima truk gula, telur, sayur, dan buah-buahan. Semuanya berdatangan di Sukorejo.

Acara yang melayani 1.500 orang itu, tiap hari rata-rata menghabiskan lima sampai enam kuintal beras, 130 sampai 300 ekor ayam, lima ekor kambing dan sapi, satu sampai tiga truk sayur mayur dan buah kelapa, dan tak terhitung kayu bakar, baik yang diantar dengan truk maupun di antar sendiri secara rombongan dengan sepeda ontel. Juru masaknya pun tak dibayar, mereka mengharapkan barakah dari para kiai.

Saking tingginya minat menyumbang dari warga, panitia sampai menolak ternak-ternak sapi dan kambing lantaran mereka tidak mempunyai tempat penampungan. Namun mereka tak habis pikir, binatang-binatang itu kemudian mereka antar lagi dalam bantuk daging.

Bantuan itu tidak hanya berasal dari warga yang kaya. Ada seseorang warga yang hanya memiliki dua ekor sapi yang satunya sedang hamil. Karena untuk acara keagamaan dia menyumbang salah satunya kepada Kiai As’ad.

Anehnya, beberapa hari kemudian seorang “tamu asing” mendatangi warga tersebut. Padahal saat mmberikan sapi itu, selain tulus ikhlas, warga tersebut juga tidak mencatatkan nama dirinya. Lalu, siapa yang memberitahukan tamu asing itu? Lucunya, tamu asing itu ngotot memberikan sejumlah uang beberapa kali lipat dari harga sapi. Karena ikhlas menyumbang untuk kiai, uang itu ditolak dengan tegas. Tapi, si tamu asing menegaskan tak mau meninggalkan rumah itu bila tetap ditolak. Akhirnya, dengan terpaksa uang itu diterimanya juga.

Siapa orang asing itu? Manusia atau mahkluk alam lain? Wallahu a’lam.

Menundukkan Bandit

Pada masa itu, di daerah Besuki, jemaah salah Jumat sangat sedikit sekali bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Setelah diteliti oleh Kiai As’ad, ternyata di sana ada seorang tokoh yang amat disegani masyarakat, seorang bajingan. Tanpa ragu-ragu, kiai mendatangi rumah tokoh tersebut.

Mengetahui bahwa tamunya seorang kiai besar, tuan rumah jadi kikuk dan kelabakan. Mereka menjadi sangat terharu dan hormat, karena sang kiai tidak mempermasalahkan dan melecehkan “profesi”-nya. Hebatnya lagi, kiai yang alim dan memiliki banyak ilmu itu mengaku sanggup tinggal bersamanya di dunia dan akhirat. Kalau dia nyasar ke neraka, kiai akan berusaha menariknya ke surga. Syaratnya, dia harus mampu memenuhi masjid dengan warga sekitar dalam setiap salat Jumat.

Diplomasi Kiai As’ad membuahkan hasil. Selain akhirnya orang-orang berbondong-bondong memenuhi masjid, sang bajingan itu akhirnya insyaf dan rajin ke masjid. Misteri apa yang ada pada diri Kiai As’ad sehingga mampu menundukkan bajingan itu? Inilah kelebihan Allah yang diberikan padanya.

Gebrakan Kiai

Merasa dirinya berada di jalan yang benar, Kiai As’ad berani melakukan apa pun, termasuk melawan dan mengusir serdadu Jepang yang berada di depannya. Entah kekuatan gaib apa yang menyertai kiai asal Pamekasan, Madura, ini sampai meja yang berada di depannya hancur berantakan saat digebraknya dengan sangat keras.


“Negeri ini milik kami!” teriak Kiai As’ad sambil menggebrak meja dengan sangat keras. “Negeri ini bukan milik Jepang. Kalian harus meninggalkan negeri ini. Kalau tidak, saya dan rakyat akan menyerang kalian!”

Para hadirin tercengang. Meja yang kukuh itu retak dan kakinya menembus lantai! Pemimpin Jepang bercucuran keringat dingin. Ketakutan! Wajah kiai merah, tak ada yang berani menatap. Semua diam membisu!

“Kalian harus pulang sekarang juga!” kata Kiai As’ad.


Mau tak mau, pemimpin Jepang itu menyerah dan menandatangani persetujuan pemulangan tentara Jepang dari Desa Curah Damar Garahan, Jember, ke Surabaya, dengan catatan semua senjata harus ditinggalkan.


Itulah hasil perundingan tokoh-tokoh masyarakat Karesidenan Besuki dengan pemimpin Jepang sekitar September-Oktober 1945 yang bertempat di Pondok Pesantren Sukorejo. Tentara Jepang akhirnya diangkut dengan kereta api ke Surabaya dengan kawalan anggota Pelopor, tentara keamanan Rakyat, Hizibullah Sabilillah, dan rakyat pada umumnya.

Suwuk Kiai


Sebagai kiai dan ulama besar, Kiai As’ad tidak hanya menguasai banyak ilmu dari para guru dan kitab-kitab Hikmah, namun juga ilmu-ilmu yang bagi masyarakat masa kini sebagai ilmu-ilmu gaib. Maklum, murid-muridnya banyak dari kaum bromocorah, sehingga dia pun banyak mendalami ilmu kanuragan (kekebalan). Saat sesama mereka dibekali sebilah pedang serta celurit dan disuruh saling membacok. Tapi, tebasan pedang dan celurit itu tidak ada yang mencederai mereka.

Sebagian murid lain, ada yang diuji melompat dari pohon kelapa yang tinggi dan ternyata badannya tetap utuh serta segar bugar. Yang ajaib adalah saat di antara para murid itu mampu menjatuhkan puluhan buah kelapa hanya dengan sekali pandang.



Di balik semua aktivitas itu, kiai sepuh yang sederhana ini terus-menerus membaca amalan-amalan agar tidak terlihat musuh. “Asma ini penting untuk mencuri senjata dan menyerang musuh,” tuturnya.


Para santri yang dulunya bromocorah, dua di antaranya bernama Mabruk dan Abdus Shomad, kemudian tergabung dalam Pasukan Pelopor itu, dan memang telah beberapa hari mendalami ilmu kanuragan serta silat. Mereka juga sudah di-jaza’ atau di-suwuk (ditiup dengan doa, atau disemprot dengan air yang sudah didoakan) oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin. Keampuhan mereka itu dibuktikan dalam perjalanan di daerah Dabasah, dekat Bondowoso. Kebetulan di daerah tersebut terdapat sebuah gudang senjata Belanda. Pasukan Pelopor ini, dengan izin Allah SWT, berhasil mencuri 24 pucuk senjata dan sejumlah amunisi tanpa mendapat perlawanan. Dengan ilmu gaib khusus, anak buah Kiai As’ad itu berhasil masuk gudang tanpa terlihat oleh pasukan Belanda.

Pasir Jadi Dentuman Senjata


Ketika mengadakan gerilya, beberapa pejuang tampak membawa pasir. Konon, pasir itu adalah pemberian dari Kiai As’ad kepada para pejuang itu. Pasir tersebut kemudian ditaburkan ke kacang hijau di dekat markas tentara Belanda atau di jalan yang akan banyak dilewati tentara Belanda.


Aneh, suatu keajaiban terjadi. Puluhan tentara Belanda yang bersenjata lengkap itu tiba-tiba lari terbirit-birit ketakutan sambil meninggalkan senjatanya. Mungkin mereka mengira suara pasir itu adalah suara dentuman senjata api. Padahal, saat itu para pejuang tidak membawa senjata api. Bagaikan mendapatkan rejeki nomplok, para pejuang itu seakan berpesta pora dan memunguti satu per satu senjata-senjata yang ditinggal Belanda itu.



Dalam kesempatan lain, sebanyak 50 anggota Laskar Sabilillah mohon jaza’ kepada Kiai As’ad ke Sukorejo sebagai bekal untuk berjuang melawan Belanda. Pertama-tama yang ditanyakan oleh Kiai As’ad adalah keteguhan mereka untuk berjuang. “Apakah kalian betul-betul ingin berjuang?” tanya Kiai As’ad.

“Kami memang ingin berjuang, Kiai, asalkan kami diberi azimat,” jawab pemimpin rombongan.


“Oh, itu gampang,” jawab Kiai As’ad. “Be en entar bungkol, moleh bungkol (kamu berangkat perang utuh, pulang pun utuh).”



Lalu Kiai As’ad mengambil air putih dan menyuruh mereka meminumnya sambil membaca sholawat. Setelah itu Kiai As’ad berpesan, “Kalian tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan. Terus maju, jangan mundur. Kalau maju terus dan tertembak mati, kalian akan mati syahid dan masuk surga. Tapi, bila kalian mundur dan tertembak, kalian akan mati dalam keadaan kafir!”

Mecah Diri



Pada suatu hari, Kiai Mujib diajak Kiai As’ad menghadiri delapan acara walimah haji di luar kota. Kiai Mujib baru merasakan keajaiban yang dialaminya setelah kembali ke Sukorejo. Mereka berangkat pukul 20.30, dan pukul 22.30 telah berada lagi di Sukorejo. Padahal perjalanan pulang pergi saja memerlukan waktu dua jam, sementara mereka harus mengunjungi delapan kali acara yang tepatnya masing-masing sangat berjauhan. Ini belum lagi dihitung waktu Kiai As’ad memberi ceramah dan jamuan makan, yang tentu saja memakan waktu tidak sebentar.



Ini ajaib. Mana mungkin perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua jam plus semua acara yang tempatnya saling berjauhan dan memakan waktu berjam-jam itu bisa dilakukan hanya dengan dua jam? Kiai Mujib mengemukakan kebingungannya itu kepada sopir kiai, H. Abdul Aziz.



“Iya…iya, kenapa bisa begitu?” katanya sambil berulang kali melihat jam tangannya untuk menyakinkan diri bahwa saat itu memang baru pukul 22.30.



Seminggu kemudian, di Sukorejo, Haji Aziz memperoleh info mengenai keributan yang hampir saja terjadi di antara pemilik delapan acara walimah tersebut karena masing-masing ngotot didatangi kiai pada saat yang bersamaan. Akhirnya mereka sama-sama heran, sebab masing-masing mempunyai bukti berupa foto ketika kiai berada di rumah-rumah mereka.



Peristiwa seperti itu pernah dialami sendiri oleh Kiai As’ad ketika muda. Dia heran, ada kiai yang menjadi imam salat Jumat di tiga masjid dalam waktu yang bersamaan. Menurut kisah, Kiai As’ad bermakmun saat salat Jumat dengan imam Kiai Asadullah di Masjid Besuki. Bupati Situbondo, yang mendengar hal itu, membantah, dan sambil ngotot mengatakan bahwa Kiai Asadullah hari itu mengimammi salat Jumat di Situbondo, bahkan sang Bupati mengaku berdiri tepat di belakangnya. Penghulu Asembagus, yang kebetulan mendengar pertikaian itu, malah menimpali bahwa Asadullah menjadi imam salat di daerahnya.



Hal itu mengingatkan Kiai As’ad pada dawuh (perintah) Habib Hasan Musawa bahwa Kiai Asadullah telah mencapai maqam fana fi adz dzat, bisa menjadi tiga bhkan sepuluh dalam waktu bersamaan. Ilmu yang sama kelak kemudian hari juga dimiliki oleh Kiai As’ad

Maqam Fana



Mengetahui bahwa Kiai As’ad telah tertidur pulas, Kiai Mujib, yang memijit beliau, kemudian mencium badan sang kiai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Namun, dia tidak mencium bau apa-apa. “Beliau ini sebenarnya ada apa-apanya tidak sih?” pikir putra Kiai Ridwan, pencipta lambang NU itu. “Apakah ini orang yang dikatakan sudah berada di maqam fana?”



Tapi ternyata Kiai Mujib terkaget-laget. Tiba-tiba terdengar suara, “Pak Mujib, apa yang sampean cari. Apakah sampean mengira di dalam tubuh saya ini ada apa-apanya?”



Dari pengalaman itu Kiai Mujib tersadar, lebih baik melihat beliau dari jauh. Ajaib! Kalau dilihat dari jauh terlihat agak samar tapi tampak, tapi kalau didekati tidak kelihatan. Sulit ditebak, seperti apa sebenarnya tingkatan maqom manusia yang bernama As’ad Syamsul Arifin itu.

hembusan cinta

 Hembusan cinta
Aku senang mencintaimu dengan terarah:
dengan sehembus bayu yang dideburkan
Ar-Rahim kepada segumpal darah
yang menjadikannya manusia.

Aku senang mencintaimu dengan tertata:
dengan selaksa aroma yang didesirkan
lebah pengolah buah di hening sarang
yang menjadikannya pencinta.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sabtu, 30 Januari 2010

Senin, 18 Mei 2009

F I L M pakai H E L M

MERAMU FILM SEBAGAI HELM
oleh: Alfithrah Arufa
Perkembangan dunia kini semakin tampak jelas terus menghipnotis setiap penghuni dunia agar selalu menikmati buah dari modernisasi hasil karya dan karsa manusia, sebuah nilai esensi yang cukup menjadi sahabat karib manusia abad 21. Betapa besarnya nilai manfaat yang dikandung oleh teknologi modern, jika dimanfaatkan dengan baik, tentunya.
Perkembangan teknologi telah melahirkan benih-benih informasi yang sangat akurat, dan actual, dengan mudahnya setiap orang dapat menjumpainya dimanapun, dan kapanpun mereka kehendaki, bahkan terkadang kita tidak perlu mencari informasi-pun, info tersebut kadang datang sendiri pada kita, ini membuktikan bahwa pesatnya perkembangan teknologi telah menyentuh setiap unsur dunia ini. Hal yang paling menonjol saat ini adalah perkembangan teknologi yang di arahkan pada dunia infotaiment, perfilman dan artistic contohnya. Berbagai hiburan kini dikemas dalam bentuk yang lebih terdesign rapi, indah dan berbobot modernisasi.
Penggunaan teknologi yang semakin canggih, telah membuat manusia terbalut dalam pilihan. Kita telah menyadari apapun yang hendak kita kerjakan memiliki nilai-nilai tawaran untuk memilih, dan memastikan antara yang baik dan yang buruk, atau antara hitam dan putih. Dalam menentukan hak pilihan kita, tak ada yang mampu menghalangi apa lagi memaksa, karena hal tersebut merupakan hak asasi setiap individu di muka bumi ini.
Dalam opini saya ini, sengaja saya tulis judul "Meramu Film sebagai Helm". Hal ini berdasarkan asumsi semakin melangitnya dunia perfilman nasional maupun internasional, akan tetapi moralitasnya masih membumi, artinya masih sulit terkendalikan oleh dunia perfilman itu sendiiri, terlebih dengan meluasnya sarana Teknologi Informatika (TI) di mana-mana yang juga kini malah tampak durhaka pada manusia. Padahal hasil ciptaan manusia sendiri, ya… tak menutup kemungkinan saking hebatnya karya-karya manusia, sampai-sampai karya-karya manusia tersebut akan menghancurkan manusia itu sendiri, sebabnya adalah ketidak mampuan manusia lagi untuk mengendalikannya, baik secara intelektual maupun spiritual.
Hal ini serupa dengan film-film yang menjadi hidangan mentah bagi jendela dunia kita (mata), suatu awal kehancuran apabila manusia terhipnotis dan dikendalikan oleh tayangan-tayangan film yang apmoral dan membawa misi pengkroposan ideology dan psikology. Hal demikian terjadi sebab kurangnya intelegient dan spiritual Question seseorang, apa yang kita lihat seharusnya dapat diracik dalam otak kita sebagai pusat untuk memilih sebelum kita meresapi hikmah ataupun nilai-nilai positf yang dapat kita petik dari sebuah tayangan film ke dalam hati nurani kita, jadikan iman dan takwa kita sebagai "helm" yang bisa melindungi hati dan otak/pikiran kita dari kecelakaan moral dahsyat dan benturan ideology yang sangat keras, sehingga kita perlukan perawatan medis insaniyah dan ilahiyyah.
Kalau kita ikuti perkembangan perfilman dewasa ini, kita jangan sampai tertipu dengan balutan dan tampilan yang bernuansa religi, tak jarang misi-misi negative juga terselip di balik tampilan film-film berjilbab ataupun berpeci tersebut. Karena setiap film yang dirilis tentunya memiliiki nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada setiap orang yang melihatnya. Kalau yang jelas berbau relegi saja harus diwaspadai aplagi yang bukan nuansa islami, Atau perasukan benalu itu bukan melalui nilai-nilai yang terkandung dalam inti tujuan film tersebut, melainkan dari pengurasan dan penguasaan yang tak kita sadari, yaitu film yang menikam kita lewat waktu. Banyak waktu yang kita sia-siakan, dan banyak waktu yang kita korupsikan untuk beribadah wajib (apalagi yang sunnah).
Itulah deskripsi problema film-film yang yang harus kita waspadai, disamping itu juga banyaknya film yang kita konsumsi bernilai positif dan membangun jiwa serta semangat dalam berjuang menuju ridho Ilahi Robbi. Dan inilah yang harus kita ramu sebagai helm (pelindung) jiwa dan raga kita. Bagaimana dengan anda?